Di balik upaya pemerintah yang berkilah demi “pembaharuan”, muncul tudingan pengkhianatan terhadap rakyat kecil yang hanya ingin mempertahankan haknya.
Frengky, kuasa hukum Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) Pasar 16 Ilir, mengungkapkan bahwa sengketa hukum yang terjadi sudah berjalan begitu panjang dan melelahkan. Ironisnya, seorang pedagang yang mempertahankan haknya justru dilaporkan ke Polrestabes Palembang. "Ini adalah bukti bahwa perjuangan kami untuk mempertahankan hak atas tanah yang sah tidak dihargai," tegas Frengky.
Lebih lanjut, Frengky menyoroti audiensi yang pernah dilakukan dengan Pj Wali Kota Palembang yang baru. Dalam pertemuan itu, Pj Wali Kota sempat menyampaikan janji-janji manis mengenai revitalisasi pasar dan pembentukan tim khusus untuk menangani masalah tersebut. Namun, semua itu ternyata hanya omong kosong belaka.
“Faktanya, Pj Wali Kota hanya melakukan sidak terhadap gudang minyak curah tanpa komunikasi apapun dengan kami, para pedagang. Ini namanya pengkhianatan! Pembodohan publik yang dibuat seolah-olah pro terhadap rakyat. Apakah ini yang disebut pemimpin?” kata Frengky dengan suara lantang.
Sejak itu, muncul pertanyaan besar di benak masyarakat: apakah kebijakan pemerintah benar-benar untuk rakyat atau justru demi kepentingan pihak tertentu? Pemerintah Kota Palembang tampaknya sangat bernafsu untuk segera merevitalisasi Pasar 16 Ilir, meski banyak pihak yang merasa dirugikan.
“Kita sudah merdeka, tapi kemerdekaan itu belum dirasakan oleh masyarakat kecil. Sekarang, kondisi ini mirip seperti zaman kolonial; siapa yang tidak berpihak akan disingkirkan dengan kekuatan aparat hukum,” tambahnya. Kenangan akan kasus Pasar Cinde, di mana para pedagang terpaksa direlokasi tanpa kepastian, masih segar di ingatan dan menjadi momok bagi pedagang di Pasar 16 Ilir.
Edi Susanto, SH, Ketua Tim Kuasa Hukum P3SRS, turut angkat bicara. Ia mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, di mana tidak ada satu pun lembaga, termasuk polisi, jaksa, hakim, dan pengadilan, yang boleh mengabaikan hak warga negara. “Sebagai pemilik kios yang sah dengan bukti Sertifikat Hak Milik (SHM), kami berhak mempertahankan tanah ini. PT. Bima Citra Realty tidak memiliki hak atas rencana revitalisasi ini,” tegas Edi.
Undang-undang tentang SHM, lanjut Edi, jelas menyatakan bahwa sertifikat hak milik adalah bukti kepemilikan yang sah tanpa batasan waktu. “Jadi terserah kalian, kalau ingin mempertahankan hak kalian, maka LAWAN! Kami siap mati demi mempertahankan hak kami,” ujarnya berapi-api.
Tak hanya Edi, M. Aflah, Ketua P3SRS Pasar 16 Ilir, menuduh bahwa proyek revitalisasi ini adalah bentuk penipuan dan pembodohan rakyat. “Proyek ini seolah-olah untuk kepentingan rakyat, tapi di belakangnya penuh dengan kecurangan. Siapa yang bisa menjamin bahwa pasar ini tidak akan dijual kepada pihak lain setelah revitalisasi selesai?” tanyanya retoris.
Para pedagang lainnya juga menyampaikan keluh kesah mereka. Mereka merasa bahwa pemerintah tidak lagi berpihak kepada rakyat kecil, dan hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Melihat kondisi ekonomi yang semakin sulit, para pedagang berharap agar media dapat membantu menyebarluaskan dan menyuarakan aspirasi mereka yang selama ini tak pernah didengar oleh penguasa.
Apakah pemerintah akan tetap bersikeras dengan rencana revitalisasi ini meski mendapat penolakan keras dari para pedagang? Ataukah ada kepentingan tersembunyi yang akan terungkap di balik proyek ini? Rakyat menanti dengan cemas, sementara pertanyaan-pertanyaan ini terus menggelayuti benak mereka. (Manda)